Dari Oslo hingga Rafah: Sumud Konvoi Ingin Menembus Blokade Gaza

Eramuslim.com –

15 Juni 2025. Di ujung dunia yang telah membatu nuraninya, puluhan ribu manusia dari seluruh penjuru bumi bergerak dalam satu irama: menuju Gaza, menuju Rafah, menuju luka yang tak pernah sembuh. Mereka bukan pasukan bersenjata. Mereka bukan utusan negara. Mereka adalah rakyat biasa. Tapi hari ini, mereka datang sebagai ombak kemanusiaanyang tak terbendung.

Lebih dari 10.000 jiwa — dari 54 negara, dari pelajar hingga dokter, dari pengacara hingga petani, dari Tunisia hingga Vietnam, dari Irlandia hingga Pakistan — telah menjadi bagian dari Konvoi Sumud, sebuah gerakan penuh harapan, keras kepala, dan cinta.

Sumud berarti keteguhan. Tapi di medan ini, ia telah menjelma menjadi bentuk paling luhur dari perlawanan tanpa senjata.

Mereka menyusuri benua Afrika dengan truk tua, bus sewaan, sepeda motor, bahkan kapal. Mereka tidur di jalan, makan seadanya, dan tetap melaju — bukan untuk menyerang, tetapi untuk mengantarkan bantuan dan hati mereka kepada rakyat Gaza yang terkepung dan dilupakan dunia.

Di kota Zawiya, Libya, mereka disambut dengan peluk dan air mata oleh warga yang tahu bahwa ini bukan sekadar iring-iringan kendaraan — ini adalah arak-arakan nurani manusia yang menolak menjadi penonton genosida.

“Kami menolak untuk diam,” ujar Wael Naouar, penyelenggara konvoi dari Tunisia. Kata-kata itu sederhana, tapi mengguncang. Karena diam adalah pembiaran. Dan mereka memilih bergerak.

Mereka tahu jalan ke Gaza bukan jalan mudah. Dari Tunisia mereka melintasi padang pasir Libya, menuju perbatasan Salloum, menembus Kairo, lalu ke Sinai Utara, dan akhirnya ke gerbang Gaza: Rafah, yang dijaga oleh tembok dan tentara.

Mereka tahu bisa ditolak, disergap, atau ditangkap — seperti kapal Madleen yang disergap Israel di laut internasional. Tapi mereka tidak peduli. Karena, seperti kata salah satu aktivis:
Kalau kami dihentikan, kami akan duduk. Kalau kami tak diberi jalan, kami akan menjadi jalannya.”

Ratusan rakyat Norwegia ikut dari Oslo dengan motor gede. Warga Belanda berkumpul di bandara, membawa bendera Palestina dengan air mata. Ribuan rakyat Tunisia bangun sejak fajar, mengantar keberangkatan dengan nyanyian dan doa. Tak ada negara yang menyuruh mereka. Mereka digerakkan oleh sesuatu yang lebih dalam: hati yang tak tahan melihat anak-anak Gaza mati kelaparan.

Gaza sedang sekarat. Menurut IPC, 470.000 orang menghadapi kelaparan akut, dan seluruh penduduk Gaza kini hidup dalam krisis pangan total. Lebih dari 51.000 warga Palestina telah tewas sejak Oktober 2023. Dunia menutup mata. Pemerintah dunia berpura-pura tak mendengar.

Tapi Sumud hadir. Untuk berkata: “Kami melihat. Kami mendengar. Dan kami tidak akan tinggal diam.” Di tengah peta kekuasaan yang penuh batas, konvoi ini menghapus garis-garis negara. Mereka bukan warga Tunisia, Irlandia, atau Argentina — mereka adalah warga dunia yang berdiri bersama Gaza.

Seorang dokter muda dari Tunisia membawa ambulans dan alat medis ke Gaza. Ia berkata: “Menjadi dokter hari ini adalah bentuk perlawanan. Ini kewajiban moral kami — bukan sekadar menyembuhkan luka, tapi juga menolak genosida.”

Penyelenggara tahu, konvoi ini bisa gagal menembus Rafah. Tapi mereka sudah siap. Jika mereka ditolak masuk, mereka akan berkemah di perbatasan. Hari demi hari. Tanpa batas waktu. “Itu pun sudah menjadi pesan,” kata mereka. “Jika kekuasaan bisa membungkam puluhan orang, maka ribuan akan bangkit. Dan kami adalah kebangkitan itu.”

Sumber: Beritasatu.com dan The New Arab

Beri Komentar