Eramuslim.com –perpanjangan masa jabatan anggota DPRD. Hal ini menjadi konsekuensi dari jeda waktu dua hingga dua setengah tahun antara dua pemilu tersebut.
Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah, DPRD Berpotensi Diperpanjang hingga 2031
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai tahun 2031 menimbulkan polemik baru: perpanjangan masa jabatan anggota DPRD. Hal ini menjadi konsekuensi dari jeda waktu dua hingga dua setengah tahun antara dua pemilu tersebut.
Wacana ini mengemuka setelah MK mengabulkan gugatan uji materi UU Pemilu dan Pilkada yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). MK menilai bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah secara bersamaan menimbulkan berbagai persoalan dalam kualitas demokrasi dan proses rekrutmen politik.
Dampak Langsung: Masa Jabatan DPRD Bisa Diperpanjang
Masa jabatan anggota DPRD saat ini dijadwalkan berakhir pada 2029. Namun, dengan Pemilu Daerah baru akan digelar pada 2031, maka jabatan mereka kemungkinan diperpanjang. Hal ini diperkuat oleh regulasi dalam UU Nomor 23 Tahun 2014, yang menyebut masa jabatan DPRD berakhir setelah adanya pengucapan sumpah jabatan oleh anggota baru.
“Masa jabatan bisa diperpanjang karena merujuk pada klausul tersebut,” kata Idham Holik, Ketua Divisi Teknis KPU, Minggu (29/6/2025).
Meski demikian, keputusan final akan ditentukan melalui pembahasan bersama DPR dan pemerintah.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI-P, Aria Bima, menegaskan bahwa konsekuensi dari putusan MK tidak bisa ditanggapi secara sepotong-sepotong.
“Perpanjangan masa jabatan DPRD bukan perkara mudah. Ini butuh duduk bersama antara DPR, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan,” ujar Aria, Senin (30/6/2025).
Ia menyarankan pembahasan RUU Pemilu dilakukan lewat Panitia Khusus (Pansus) lintas komisi, bukan sekadar panitia kerja (panja), mengingat dampaknya mencakup desain besar demokrasi dan ekosistem pemilu nasional.
Pro dan Kontra Putusan MK
Putusan MK ini menimbulkan respons beragam:
Ahmad Khoirul Umam, dari Badan Riset Partai Demokrat, menilai putusan ini berpotensi memperpanjang tensi politik dan mengganggu stabilitas sosial serta koordinasi pemerintahan pusat-daerah.
Muhammad Khozin dari Komisi Pemerintahan DPR menyebut putusan ini paradoksal karena bertentangan dengan putusan MK sebelumnya (55/PUU-XVII/2019) yang menyerahkan model keserentakan kepada DPR.
Titi Anggraini, dosen hukum dari UI, berpandangan sebaliknya. Ia menyambut baik putusan MK karena menyederhanakan pemilu dan memperkuat fokus pemilih. Namun ia menekankan perlunya aturan transisi yang eksplisit, termasuk masa jabatan kepala daerah dan penyelenggara pemilu.
Dalam kekosongan jabatan kepala daerah pasca 2029, dua opsi mengemuka: penunjukan penjabat atau perpanjangan masa jabatan. Menurut Heroik Mutaqin Pratama, peneliti Perludem, opsi penjabat relevan untuk kepala daerah, namun tidak untuk DPRD.
Ketua Komisi Pemerintahan DPR Rifqinizamy Karsayuda menyatakan akan ada pengkajian komprehensif terhadap opsi-opsi tersebut, baik dari aspek hukum maupun teknis penyelenggaraan.
Pemerintah Tak Ingin Tergesa-gesa
Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, menyampaikan bahwa pemerintah masih mengkaji dampak putusan MK tersebut secara menyeluruh. Ia menegaskan bahwa kebijakan transisi nantinya akan mempertimbangkan harmonisasi dengan berbagai UU terkait, termasuk UU Pemilu, UU Pilkada, UU Pemerintahan Daerah, dan UUD 1945.
“Revisi dan tindak lanjutnya tidak boleh terburu-buru. Semuanya akan dikaji dengan mengacu pada konstitusi,” ujar Bima, Minggu (29/6/2025).
Putusan MK ini membuka jalan bagi reformasi menyeluruh sistem pemilu di Indonesia. Hal ini juga bisa menjadi pemisahan waktu antara pemilu nasional dan daerah memungkinkan masyarakat untuk lebih fokus mengevaluasi kandidat di setiap level. Tak ada lagi “banjir informasi” dalam satu waktu yang membuat kualitas pilihan jadi asal-asalan.Selama ini, pemilu serentak lima kotak sering menyulitkan penyelenggara dan pemilih. Dengan pemisahan waktu, logistik, pengawasan, dan penghitungan suara akan lebih ringan, mengurangi risiko human error dan potensi kecurangan.
Namun, Wacana memperpanjang masa jabatan anggota DPRD (dan mungkin kepala daerah) tanpa pemilu menimbulkan krisis legitimasi. Mereka memerintah lebih lama tanpa pemilihan ulang, padahal rakyat seharusnya menentukan siapa yang layak lanjut atau tidak. Dengan jeda dua tahun antar pemilu, artinya negara akan terus dalam suasana kampanye politik. Ini bisa membuat masyarakat lelah, meningkatkan polarisasi, dan mengganggu stabilitas kebijakan. Menyelenggarakan dua pemilu besar dalam dua tahun terpisah jelas butuh biaya jauh lebih besar daripada satu pemilu serentak. Ini jadi pertanyaan publik di tengah prioritas lain seperti pendidikan, kesehatan, dan ketahanan pangan. Bagaimana menurut kalian sebagai warga negara Indonesia?
Sumber: Tempo.co dan fajar.co.id