Eramuslim.com – Pemerintah Arab Saudi resmi melayangkan nota diplomatik kepada Indonesia, menyoroti berbagai persoalan serius dalam penyelenggaraan ibadah haji 2025. Salah satu poin krusial dalam nota itu adalah ancaman pemangkasan kuota haji Indonesia hingga 50 persen pada tahun 2026, sebuah sinyal peringatan keras yang tak bisa dianggap enteng.
Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji (BPH), Dahnil Anzar Simanjuntak, mengonfirmasi bahwa Arab Saudi menilai pelaksanaan ibadah haji tahun ini “banyak kesemrawutan”. Dalam wawancaranya dengan Tempo (24 Juni 2025), Dahnil mengatakan pemerintah Arab kecewa dengan tata kelola haji Indonesia, terutama terkait data jemaah, transportasi, penempatan, dan layanan kesehatan.
Catatan diplomatik yang bertarikh 20 Zulhijah 1446 H (16 Juni 2025) itu ditujukan kepada Menteri Agama Nasaruddin Umar, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief, serta Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Ahrul Tsani Fathurrahman. Dokumen ini bocor ke publik dan menjadi sorotan karena memuat kritik tajam terhadap sistem yang dinilai tidak tertib.
Tajamnya Kritik Arab: “Kenapa Indonesia Mengirim Orang Meninggal ke Sini?”
Anggota Tim Pengawas Ibadah Haji DPR RI, Edy Wuryanto, menilai nota diplomatik ini adalah alarm serius. Arab secara terang-terangan mempertanyakan angka kematian jemaah haji asal Indonesia yang menyentuh angka 380 orang. “Arab Saudi sampai menyindir: Mengapa Indonesia mengirim orang meninggal ke sini? Itu pernyataan yang sangat tajam,” kata Edy.
Kritik keras ini memperkuat urgensi evaluasi total sistem haji Indonesia, khususnya dalam seleksi dan pemeriksaan kesehatan jemaah, agar tak sekadar formalitas administratif.
Menanggapi situasi ini, Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan bakal membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengevaluasi manajemen haji 2025. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Abidin Fikri, mengatakan bahwa DPR juga mempertimbangkan merevisi UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, serta UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji agar selaras dengan kebutuhan jemaah dan kebijakan Kerajaan Arab Saudi.
Salah satu langkah pembenahan konkret adalah rencana pengalihan penyelenggaraan haji dari Kementerian Agama ke Badan Penyelenggara Haji (BPH) mulai tahun 2026. Badan ini merupakan inisiatif Presiden Prabowo Subianto sebagai bentuk pemisahan tugas agar pengelolaan haji lebih fokus dan profesional.
Menurut Dahnil, hal ini disambut positif oleh pihak Arab sebagai bentuk komitmen perbaikan tata kelola yang selama ini dinilai stagnan.
Kisruh di Lapangan: Jemaah Jalan Kaki, Tidur di Kardus, Transportasi Macet
Berbagai kekacauan di lapangan memperkuat kritik dari Arab. Selama pelaksanaan haji 2025, ratusan jemaah Indonesia terpaksa berjalan kaki dari Muzdalifah ke Mina akibat keterlambatan bus. Seorang jemaah, Faris Alfaizi (24 tahun), mengaku menunggu hingga tiga jam tanpa kejelasan.
Tak hanya itu, banyak jemaah tak kebagian maktab (tenda) di Mina dan harus tidur beralaskan kardus di dekat toilet. Jalanan macet, logistik tak lancar, dan kurangnya informasi memperburuk pengalaman jemaah.
Kepala BPH Mochamad Irfan Yusuf telah bertemu langsung dengan Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi pada 10 Juni 2025 untuk bernegosiasi dan meminta agar kuota Indonesia tidak dikurangi. Kuota haji Indonesia sudah menurun dari 241 ribu pada 2024 menjadi 221 ribu pada 2025, dan keputusan untuk 2026 akan diumumkan pada 10 Juli 2025.
Sementara itu, Dirjen Haji dan Umrah, Hilman Latief, menyatakan bahwa nota diplomatik Arab bukanlah bentuk sanksi, melainkan catatan sebelum puncak haji. “Kami menerima surat itu sebagai bagian dari komunikasi antarpemerintah,” ujarnya melalui akun YouTube resmi Kementerian Agama.
Ketua Komnas Haji Mustolih Siradj meyakini catatan diplomatik ini tak serta merta akan memangkas kuota haji. Sebaliknya, Arab Saudi punya kepentingan ekonomi dan diplomatik atas kehadiran jemaah Indonesia yang jumlahnya besar.
Sumber: Tempo.co