Humanitarian Aid ke Gaza Diblokir, Mesir Persilahkan Pengungsi Israel Melalui Sinai. Standar Ganda Mesir Terhadap Palestina dan Israel!

Eramuslim.com – Mesir Diam-Diam Perketat Keamanan di Sinai Selatan, Ribuan Warga Israel Masuk untuk Menghindari Konflik dengan Iran

Mesir secara diam-diam meningkatkan langkah-langkah keamanan di wilayah Sinai Selatan setelah ribuan warga Israel mulai menyeberang ke provinsi tersebut sejak awal pekan lalu melalui perbatasan Taba dengan Israel guna menghindari konflik yang memanas dengan Iran.

Ribuan warga asing, termasuk diplomat dan staf internasional, telah menyeberang ke Mesir dalam beberapa hari terakhir dengan tujuan terbang dari Bandara Sharm el-Sheikh ke berbagai negara di dunia, melalui koordinasi dengan pemerintah mereka, Israel, dan Mesir.

Namun, ribuan warga Israel lainnya masih berada di Sinai Selatan, berharap dapat kembali ke rumah setelah situasi membaik.

Pada Selasa pagi, gencatan senjata rapuh antara Israel dan Iran yang diumumkan malam sebelumnya oleh Presiden AS Donald Trump, mulai diberlakukan.

Situasi ini memicu tuduhan standar ganda terhadap pemerintah Mesir yang justru memblokir konvoi bantuan yang berusaha menembus pengepungan total Israel atas Gaza, sementara para aktivis menghadapi serangan kekerasan. Sumber keamanan Mesir yang berbicara kepada Middle East Eye (MEE) secara anonim menyatakan bahwa kedatangan warga Israel secara tak terduga telah meningkatkan status siaga.

Pasukan polisi dan militer telah dikirim untuk memperkuat keamanan di sekitar kota Taba, Dahab, Nuweiba, dan Sharm el-Sheikh.

“Otoritas khawatir bahwa setiap provokasi atau serangan terhadap warga Israel di Mesir dapat merusak sektor pariwisata, mengganggu stabilitas domestik, atau memperburuk hubungan Mesir yang sudah tegang dengan Israel,” ujar seorang pejabat keamanan senior kepada MEE.

Masuknya warga Israel ini terjadi setelah pariwisata di Mesir anjlok sejak serangan Israel ke Jalur Gaza pada Oktober 2023 yang telah menewaskan lebih dari 56.000 warga Palestina. Sumber keamanan menyampaikan kekhawatiran bahwa badan intelijen Israel seperti Mossad dan Shin Bet bisa saja memanfaatkan peningkatan lintas batas ini untuk menyusupkan agen mereka secara diam-diam ke Mesir.

“Jika agen mereka berhasil masuk ke Kairo atau Alexandria, mereka bisa dengan mudah melakukan operasi pengawasan atau menghubungi kolaborator dengan kedok turis,” kata seorang sumber intelijen kepada MEE.

“Tidak mungkin memantau semuanya. Jika satu saja agen Israel berhasil membentuk sel baru di Mesir, dampaknya bisa sangat serius.”

Jika gencatan senjata gagal dan konflik terus berlanjut, para ahli memperkirakan dampak dari masuknya warga Israel ke Mesir akan semakin nyata, dengan perkiraan tidak resmi menyebutkan hingga 100.000 warga Israel bisa menyeberang dalam waktu dua minggu.

“Kami tidak masalah jika Mesir hanya menjadi titik transit bagi warga Israel menuju Eropa atau AS. Tapi keberadaan mereka dalam jumlah besar tanpa pengawasan menimbulkan risiko besar terhadap keamanan nasional Mesir,” ungkap seorang analis keamanan senior kepada MEE.

“Saat ini, otoritas Mesir tengah berupaya menyeimbangkan banyak hal: meredam kemarahan publik, menjaga diplomasi rapuh dengan Israel, dan menghindari konflik yang dapat mengganggu stabilitas perbatasan strategis Laut Merah.”

Situasi ini diamati langsung oleh Presiden Mesir untuk memastikan koordinasi penuh antar lembaga keamanan.

Kami mendapat instruksi dari tingkat tertinggi untuk memfasilitasi semua kebutuhan warga Israel selama tinggal di sini sesuai perintah langsung dari presiden dan badan keamanan utama,” jelas seorang pejabat keamanan senior.

“Informasi terbaru terus dilaporkan langsung kepada Presiden Abdel-Fattah el-Sisi setiap saat karena sensitifnya situasi dan keinginan Kairo untuk mencegah insiden yang bisa memicu opini publik atau merusak hubungan diplomatik.”

Potensi Tinggal Jangka Panjang?

Menurut sumber di sektor pariwisata Sinai Selatan, banyak warga Israel yang datang melalui Taba menggunakan kendaraan pribadi, sebagian dengan sepeda, bahkan ada yang berjalan kaki. Mereka telah memenuhi sebagian besar hotel dan rumah sewa.

“Hotel-hotel dekat perbatasan mengalami tingkat hunian tertinggi dalam beberapa hari terakhir,” ujar seorang pekerja hotel di Taba kepada MEE.

‘Jika agen mereka berhasil masuk ke Kairo atau Alexandria, mereka bisa dengan mudah melakukan operasi pengawasan atau menghubungi kolaborator’
– Sumber intelijen

Berdasarkan Perjanjian Damai 1979, warga Israel dapat memasuki Sinai Selatan tanpa visa dan tinggal hingga 14 hari. Ketentuan ini telah lama mendukung arus wisatawan.

Pekerja hotel tersebut mengatakan bahwa dia dan rekan-rekannya telah diperintahkan oleh pihak keamanan untuk tidak membicarakan apa pun yang berkaitan dengan tamu asal Israel.

“Tidak peduli bagaimana perilaku mereka atau apa yang mereka lakukan; kami diminta untuk bersikap toleran dan diam, bahkan tidak boleh memberi tahu keluarga kami apa yang kami dengar atau lihat,” ujar pekerja itu.

Perbatasan Taba, yang terletak tepat di selatan kota Eilat, Israel, merupakan satu-satunya perbatasan yang masih dibuka untuk wisatawan antara kedua negara sejak 1982.

Israel menduduki Taba setelah Mesir kalah dalam Perang Timur Tengah 1967 hingga akhirnya kota ini dikembalikan kepada Mesir melalui arbitrase internasional pada 1989 oleh Presiden Hosni Mubarak, menjadikannya wilayah terakhir di Semenanjung Sinai yang dikembalikan. Mubarak kemudian digulingkan dalam revolusi 2011.

Meski banyak warga Israel yang datang diperkirakan hanya mencari perlindungan sementara, kemungkinan tinggal lebih lama menimbulkan kekhawatiran di Kairo.

Hukum Mesir melarang kepemilikan properti oleh warga asing di wilayah Sinai, namun pengamat khawatir aturan ini bisa diakali melalui kesepakatan informal.

Bantuan Diblokir, Warga Israel Disambut

Gelombang kedatangan warga Israel ke Sinai Selatan memicu kemarahan luas di kalangan masyarakat Mesir dan meningkatkan sentimen anti-normalisasi serta penolakan terhadap hubungan resmi dengan Tel Aviv.

Meskipun Mesir dan Israel telah menjaga perdamaian sejak menandatangani perjanjian yang disponsori AS pada 1979, hubungan tersebut tetap tidak populer di mata masyarakat umum Mesir.

Sikap Mesir ini menimbulkan tuduhan standar ganda dan kemunafikan.

Pekan lalu, ratusan aktivis internasional yang berusaha melakukan aksi “Global March to Gaza” melalui Mesir untuk menembus pengepungan total Israel di Gaza justru diserang secara brutal, ditahan, dan kemudian dideportasi. Mereka adalah bagian dari 4.000 aktivis dari 80 negara yang hendak membawa bantuan obat-obatan dan makanan ke Gaza sejak pengepungan penuh diberlakukan awal Maret lalu.

Memalukan bahwa warga Israel bisa begitu mudah masuk ke Sinai, sementara aktivis yang membawa obat dan makanan untuk warga Palestina yang sekarat justru ditolak,” kata seorang aktivis di Kairo kepada MEE, yang meminta anonimitas demi alasan keamanan.

Sumber: Middle East Eye

Beri Komentar