Eramuslim.com – Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menyita perhatian publik setelah menyegel area parkir di sejumlah minimarket karena tak menyediakan juru parkir (jukir) resmi. Tindakannya saat inspeksi mendadak di kawasan Jalan Wijaya Kusuma dan Dharmahusada menyoroti praktik parkir liar yang masih berlangsung. Eri menegaskan bahwa setiap minimarket wajib menyiapkan jukir berseragam dan berompi khusus dari tempat usaha tersebut, sesuai Perda No. 3 Tahun 2018 dan Perda No. 1 Tahun 2023.
“Aturan ini sebenarnya sudah dituangkan dalam Perda Nomor 3 Tahun 2018. Karena pandemi, penerapannya sempat terhenti. Sekarang ekonomi sudah pulih. Saatnya aturan ini kembali dijalankan,” ujar Eri dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (20/6/2025).
Eri menambahkan, dalam Perda Nomor 3 Tahun 2018, toko modern wajib menyediakan petugas parkir resmi yang masuk dalam struktur pegawai.
Bahkan, 60 persen dari total pegawai di toko modern tersebut harus memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Surabaya.
Namun, Eri menilai bahwa selama ini ada miskomunikasi antara Pemkot Surabaya dan para pengelola toko modern atau minimarket.
“Banyak manajer baru belum tahu soal aturan ini. Akibatnya, masih ditemukan tukang parkir liar yang menarik uang dari pelanggan. Maka itu, saya tegaskan dan sekarang sudah disepakati parkir di toko modern gratis. Kalau ada yang menarik uang, berarti itu jukir liar,” jelasnya.
Pemkot Surabaya juga mendorong toko modern untuk memberikan ruang usaha bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di area parkir mereka.
Hal tersebut juga diatur dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 116 Tahun 2023 sebagai turunan dari Perda Nomor 1 Tahun 2023 tentang Perdagangan dan Perindustrian.
“Toko modern itu perlu membantu mengurangi kemiskinan dengan memberikan kesempatan kepada warga Surabaya pelaku UMKM, seperti penjual soto, es degan, dan sebagainya, agar berjualan di area parkir mereka,” terang Eri.
Meski begitu, Eri mengakui bahwa tidak semua pelaku UMKM bisa langsung berjualan. Sebab, Pemkot Surabaya lebih dulu menerapkan seleksi melalui proses undian yang dikoordinasikan oleh kelurahan dan kecamatan setempat.
Jadi, UMKM yang terpilih harus terdaftar secara resmi di data kelurahan.
“Kalau tidak lewat kelurahan dan kecamatan, toko modern akan bingung karena semua UMKM ingin masuk. Maka, kami seleksi bahwa tiga pelaku UMKM yang dipilih secara adil lewat undian,” tuturnya.
Lantaran lokasi lapak terbatas, tambah Eri, lahan parkir jadi diprioritaskan bagi UMKM yang berasal dari keluarga ekonomi bawah.
Perwakilan dari Aprindo Jawa Timur, Romadhoni, menegaskan komitmen toko modern atau minimarket untuk memberikan kenyamanan kepada konsumen dengan menyediakan jukir resmi.
“Dengan Perda No 3 Tahun 2018 itu terjawab bahwasanya kita wajib menyediakan petugas parkir resmi dari perusahaan,” jelas Doni.
Doni pun memastikan bahwa semua toko ritel modern anggota Aprindo telah menempatkan petugas parkir resmi.
Selain itu, mereka juga dilengkapi atribut yang merupakan bagian dari sistem manajemen toko.
Namun, kebijakan ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah jukir liar satu-satunya masalah dalam tata kelola parkir kota? Atau justru mereka adalah korban dari sistem kebijakan yang tak adil, birokrasi yang tidak transparan, dan kurangnya perhatian pada kelompok masyarakat bawah?
Studi menunjukkan bahwa para jukir liar umumnya bekerja karena terpaksa, bukan semata karena membangkang aturan. Banyak dari mereka tidak memiliki pilihan pekerjaan lain dan masuk dalam sistem informal yang tidak diatur dengan baik oleh pemerintah. Penindakan tanpa solusi jangka panjang berisiko memperparah marginalisasi sosial.
Sebuah studi oleh Dwi Jayanti Lukman (2012) tentang perparkiran Makassar mengungkap bahwa kebijakan kerap dibuat secara top-down tanpa melibatkan masyarakat akar rumput. Ini diperkuat oleh temuan klasik Grindle (1980) yang menyatakan bahwa kegagalan implementasi kebijakan di negara berkembang sering dipicu oleh konteks yang tidak tepat dan koordinasi birokrasi yang lemah.
Padahal, kebocoran pendapatan asli daerah (PAD) justru banyak terjadi di tingkat pengelolaan. Studi Indonesia Budget Center (2023) mencatat bahwa hanya sekitar 30–40% potensi pendapatan parkir yang masuk kas daerah. Sisanya bocor akibat manajemen yang tidak transparan, perizinan yang tidak jelas, dan pungutan liar dari oknum koordinator lapangan yang tak tersentuh hukum.
Ironisnya, banyak jukir liar bekerja di lokasi parkir yang dikelola pihak ketiga, dan tetap menyetor uang ke koordinator yang memiliki relasi dengan pegawai daerah. Ombudsman RI (2022) menemukan adanya pelanggaran tata kelola parkir di Surabaya dan Padang, termasuk keterlibatan oknum dan ketidakjelasan pengelolaan retribusi.
Solusi digitalisasi, seperti e-parking, dinilai belum menjawab akar masalah. Meskipun teknologi bisa meningkatkan efisiensi, dalam praktiknya sistem ini kerap diiringi pungutan tunai oleh jukir atau hanya diterapkan di kawasan elit. Tanpa pembenahan struktural, digitalisasi hanya menjadi tambalan sementara.
Lebih parah lagi, banyak pemerintah daerah bahkan tidak memiliki data lengkap mengenai jumlah jukir resmi maupun lokasi parkir yang tersedia. Penelitian Rizky Maulana Permana dan Adi Kurnia (2024) di Tasikmalaya menunjukkan bahwa lemahnya basis data menghambat pembinaan dan pelibatan koperasi jukir.
Rekomendasi Kebijakan
-
Hentikan Pendekatan Represif
Sebelum melakukan penertiban, pemerintah perlu berdialog dengan para jukir. Libatkan mereka dalam koperasi atau BUMD yang transparan dan akuntabel. Studi Nurhidayati (2022) menunjukkan bahwa koperasi jukir di Yogyakarta berhasil membangun sistem parkir partisipatif. -
Reformasi Birokrasi Internal
Audit manajemen retribusi, evaluasi kontrak pengelolaan parkir, dan pembentukan badan pengawas independen harus dilakukan agar sistem menjadi bersih dan adil. -
Jaminan Sosial dan Ketenagakerjaan
Jukir harus dimasukkan ke dalam skema perlindungan sosial. Pemerintah bisa bekerja sama dengan BLK, Disnaker, dan sektor swasta untuk pelatihan keterampilan atau integrasi ke sektor informal yang lebih stabil.
Kebijakan parkir tak seharusnya hanya dinilai dari jumlah retribusi atau banyaknya jukir yang ditindak. Yang lebih penting adalah seberapa adil dan manusiawi kebijakan tersebut. Jika hanya masyarakat bawah yang ditertibkan sementara aktor besar tak tersentuh, maka negara gagal menjalankan fungsi moral dan administratifnya.
Sumber: Mojok.co, Kompas.id, dan detikcom